KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi
sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru
sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira
besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ” Pemikiran Ibnu Qoyim Tentang Filsafat
Islam”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak,
karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kedua
orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan,
kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini
berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada
langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL....................................................................................... i
KATA
PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR
ISI................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar
Belakang..................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................ 4
A. Sekilas
Biografi Ibnu Qoyim................................................................ 4
B. Corak
Pemikiran Ibnu Qoyim............................................................... 5
1. Pengertian
pendidikan islam................................................................. 5
2. Tujuan
Pendidikan islam...................................................................... 6
3. Pokok-pokok
pendidikan islam............................................................ 7
4. Metode
Pendidikan Islam.................................................................... 13
BAB
III PENUTUP......................................................................................... 15
A. Kesimpulan........................................................................................... 15
B. Saran..................................................................................................... 16
DAFTAR
PUSTAKA...................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbicara
mengenai perubahan tentu sudah dapat terbayangkan terjadinya dari hal yang
positif ke negatif atau sebaliknya dari negatif ke positif,namun itu semua
tidak mudah tentunya akan mendapatkan hambatan dan sebuah tantangan. Dalam
konteks untuk menemukan konsep pendidikan Islam ideal, maka menjadi tanggung
jawab moral bagi setiap pakar muslim untuk membangun teori Islam sebagai
paradigma ilmu pendidikan. Islam sebagai paradigma pendidikan mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan paradigma-paradigma lainnya yang mendasari
konsep-konsep pendidikan. Dewasa ini khususnya di Indonesia sistem pendidikan
yang diterapkan di sekolah-sekolah merupakan bentuk adopsi sistematik dari
sistem pendidikan barat sekuler. (lihat, Ismail SM,,et al, 2001: 3)
Diantara peliknya berbagai persoalan besar, ia dihadapkan pula pada berbagai persoalan tantangan dan prospek ke depan. Mampukah Pendidikan Islam keluar dari peliknya permasalah tersebut dan ikut ambil bagian secara aktif dalam hiruk-pikuknya lalu-lintas perubahan intelektual dan ghazwul fikr, perang pemikiran terutama antar barat dan timur (baca: Islam dan non-Islam). Berbicara tentang Pendidikan Islam atau pendidikan yang ada dan berkembang di Negara-negara Muslim pada abad XXI, baik sistem, tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjadi bahan kajian di kalangan para ahli pendidikan Islam.
Diantara peliknya berbagai persoalan besar, ia dihadapkan pula pada berbagai persoalan tantangan dan prospek ke depan. Mampukah Pendidikan Islam keluar dari peliknya permasalah tersebut dan ikut ambil bagian secara aktif dalam hiruk-pikuknya lalu-lintas perubahan intelektual dan ghazwul fikr, perang pemikiran terutama antar barat dan timur (baca: Islam dan non-Islam). Berbicara tentang Pendidikan Islam atau pendidikan yang ada dan berkembang di Negara-negara Muslim pada abad XXI, baik sistem, tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjadi bahan kajian di kalangan para ahli pendidikan Islam.
Menurut Ismail SM. (2001: 275), bahwa ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya silang pemikiran tersebut yakni pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan Islam yang sekarang dikembangkan baik sistem maupun substansinya adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun muncul gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut dianggap hanya bersifat penutup belaka. Dengan kata lain, melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Barat adalah suatu hal tidak mungkin. Harus diakui bahwa sebagian besar Negara Islam masih merupakan Negara Dunia ketiga (miskin atau masih berkembang), yang saat ini masih tertinggal beberapa langkah dari kemajuan yang dicapai oleh Negara-negara Barat yang mau tidak mau jalur tersebut harus dilalui oleh Negara Muslim. Kedua, karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang merupakan pemikiran pendidikan Islam yang komprehensif cukup jarang dijumpai.
Jauh sebelum Sigmund Freud, Erikson, Hurlock,Vygotski,
Kohlberg, Jean Piaget, ataupun penulis-penulis barat memunculkan pemikirannya
tentang perkembangan sosial, bahasa, moral dan kognitif serta pendidikan anak,
Al-Ghazali dan Ibnu Qayyim telah lebih dahulu merumuskan tentang konsep
pendidikan anak. Konsep pendidikan mereka banyak mengilhami pemikiran-pemikiran
para intelektual, praktisi pendidikan, maupun cendekiawan Muslim di seluruh
dunia, khususnya di Indonesia. Nurman Said (1992: 87) menyatakan bahwa
karya-karya Al-Ghazali memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidikan di
Indonesia khususnya di kalangan kaum tradisionalis.
Para
pemikir muslim, baik pada periode klasik, seperti ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
al-Ghazali, al-Farabi dan Ibnu Khaldun, pada zaman modern semisal al-Tahthawi,
Muhammad Abduh, Islamil Raji al-Faruqi, banyak menulis pemikir-pemikiran yang
ada kaintannya dengan pendidikan Islam. Namun demikian, oleh karena
keterbatasan kemampuan dan literatur, penulis tidak bermaksud untuk membahas
keseluruhan pemikiran bersama dengan nama-nama para tokoh di atas. Dengan tanpa
mengurangi nilai kontribusi mereka di bidang pendidikan, penulis hanya
menuliskan beberapa nama tokoh dengan pemikirannya baik yang termasuk pada
zaman klasik maupun yang modern. Dari dua era yang berbeda ini penulis kira
dapat melihat trend pemikiran pendidikan yang pernah dituangkan oleh para
pemikir muslim dari zaman ke zaman.
Penelitian terhadap para pakar pendidikan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di dalam maupun di luar negeri. Hasil penelitiannya dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi, bahkan telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Tokoh-tokoh pendidikan Islam yang dijadikan obyek penelitian adalah ulama-ulama hadis, fiqih, filsafat Islam dan tasawuf Islam. Akan tetapi belum banyak dilakukan penelitian terhadap konsep pendidikan Ibn Qayyim, seorang pembaharu yang hidup di abad pertengahan.
Konsep
kependidikannya dituangkan dalam buku-bukunya, tetapi di kalangan dunia
pendidikan belum mengenalnya sebagai tokoh pendidikan. Ia lebih dikenal sebagai
tokoh pembaharu dalam bidang aqidah dan fiqih, diakui sebagai ahli tafsir, ahli
usul fiqih, dan ahli bahasa. Para ulama yang dikategorikan sebagai tokoh
pendidikan yang hidup sebelum Ibn Qayyim banyak jumlahnya. Mereka banyak
sumbangannya dalam pengembangan pemikiran pendidikan Islam. Diantara mereka ada
yang menulis buku-buku dan risalah-risalah khusus mengenai pendidikan (Hasan
Langgulung, 1988:31).
Oleh
karena itu, kajian dalam makalah ini penulis batasi pada kajian tentang konsep
pendidikan Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang dikaitkan dengan kondisi
pendidikan sekarang sejauhmana relevansinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEKILAS BIOGRAFI IBNU QAYYIM
AL-JAUZIYYAH
Muhammad
bin Abi Bakr (محمد بن أبي بکر), bin Ayyub bin Sa'd al-Zar'i, al-Dimashqi
(الدمشقي), bergelar Abu Abdullah Syamsuddin (أبو عبد الله شمس الدین), atau
lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dinamakan karena ayahnya
berada / menjadi penjaga (qayyim) di sebuah sekolah lokal yang bernama
Al-Jauziyyah. Dalam Bahasa Arab namanya tertulis: شمس الدين محمد بن أبي كر بن
أيوب ،ابن القيم الجوزية ابن القيم.
Dilahirkan
di Damaskus, Suriah pada tanggal 4 Februari 1292, dan meninggal pada 23
September 1350 adalah seorang Imam Sunni, cendekiawan, dan ahli fiqh yang hidup
pada abad ke-13. Ia adalah ahli fiqih bermazhab Hambali. Disamping itu juga
seorang ahli Tafsir, ahli hadits, penghafal Al-Quran, ahli ilmu nahwu, ahli
ushul, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid.
Ibnu Qayyim berguru ilmu hadits pada Syihab an-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru tentang fiqh kepada Syekh Safiyyuddin al-Hindi dan Isma'il bin Muhammad al-Harrani; berguru tentang ilmu pembagian waris (fara'idh) kepada bapaknya; dan juga berguru selama 16 tahun kepada Ibnu Taimiyyah. Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali. (id.wikipedia.com)
Sedangkan karya yang dihasilkan sangat banyak sekali dalam bentuk buku-buku, diantara karya yang berkaitan dengan pendidikan adalah Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan, Miftah Darus Sa’adah, Mukhashar Raudhatul Muhibbin, Al-Fawaid: Menuju Pribadi Takwa, Al-Jawab Al-Kafi, Thibbun Nabawy. Karya lain adalah tafsir al-Qayyim, Amtsal al-Quran, Ushul at-Tafsir (tafsir dan ilmu tafsir Al-Qur’an), Al-Ijtihad wa at-Taqlid, Ahkam Ahl adz-Dzimmah (bidang hukum), dan lain-lain.
B. CORAK PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM
1. Pengertian Pendidikan Islam
Makna
tarbiyah menurut Ibnu Qayyim, terlihat dari komentar beliau tentang kata
Rabbani yang ditafsirkan dengan makna tarbiyah. Kata Rabbani diartikan dengan
makna yang seperti itu dikarenakan ia adalah pecahan dari kata kerja (fi’il)
Rabba-Yarubbu-Rabban yang artinya adalah seorang pendidik (perawat), yaitu
orang yang merawat ilmunya sendiri agar menjadi sempurna, sebagaimana orang
yang mempunyai harta merawat hartanya sendiri agar bertambah, dan merawat
manusia dengan ilmu tersebut sebagaimana seorang bapak merawat anak-anaknya
(Ibnu Qayyim, Miftahus Darus Saadah jilid I: 125-126).
Berdasarkan
makna tarbiyah secara etimologi di atas, Ibnu Qayyim mendefinisikan tarbiyah
sebagai suatu usaha dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dilakukan pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadian utama taat kepada Allah, berbudi pekerti mulia, berilmu tinggi dan
kesehatan jasmani dan rohani.
Pendidikan menurut beliau terdiri dari empat unsur yaitu, pertama, memelihara dan menjaga fitrah anak, menuju jalan Allah (Ibnu Qayyim, Tuhfah al-maulud bi al-ahkamil Maulud: 39). Kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan, ketiga, mendidik akhlak, keempat, mendidik jasmani dan rohani sekaligus. Jika kita perhatikan secara seksama, maka makna tarbiyah secara terminologi menurut Ibnu Qayyim memiliki koherensi/persamaan dengan makna tarbiyah secara etimologi. Dan tidak pula jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh sebagian pendapat para pakar pendidikan Islam, termasuk oleh Al-Ghazali. (lihat, Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono (2009: 281).
Menurut Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy (2001: 77). Definisi tarbiyah yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini mencakup dua makna, yaitu: pertama, tarbiyah yang berkaitan dengan ilmu seorang murabbi, yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi terhadap ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut terus bertambah. Tarbiyah seperti ini diibaratkan sebagai seorang yang berharta merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan ketekunannya menyertai mereka agar mereka menguasai ilmu yang diberikan kepadanya secara bertahap. Tarbiyah seperti ini diibaratkan seperti orang tua yang mendidik dan merawat anak-anaknya.
Tarbiyah mencakup tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Dan beliau menjelaskan kaifiyah (cara) mentarbiyah hati dan badan tersebut. Beliau berkata “Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan kepada tarbiyah. Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna dan lebih baik dari sebelumnya.” (lihat, dalam Ibnu Qayim Al-Jauziyah, Ighatsanu Lahfan min Mushahidis Syetan, (1320, Juz I: 46).
Simpulan dari makna tarbiyah di atas adalah Ibnu Qayyim memaknai sebagai proses mengajarkan ilmu dan mendidik manusia yang meliputi pendidikan hati (baca: pendidikan karakter) dan pendidikan yang bersifat jasmaniah (fisik) yang diibaratkan seperti orang tua mendidik dan merawat anak-anaknya atau seseorang yang merawat hartanya agar menjadi berkembang. Artinya pendidikan adalah sebuah proses yang mempunyai goal setting menjadikan manusia yang memanusiakan manusia dan mampu mengembangkan ilmunya.
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan
utama pendidikan anak menurut Ibnu Qayyim (Miftahu Darussa’adah, hal. 5) adalah
menjaga kesucian fitrah anak dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam
penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah kepada Allah. Dengan
ungkapan lain, menanamkan akhlak mulia dalam diri anak didik sekaligus
menghapus dan memerangi akhlak buruk dari diri mereka, menanamkan dalam diri
anak sikap ubudiyah hanya kepada Allah, yang dengannya anak mampu mencapai
kesempurnaan diri, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimahullah bahwa tujuan tarbiyah yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dikarenakan bahwa Allah Ta’ala tidak menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya. (Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, 2009: 8)
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimahullah bahwa tujuan tarbiyah yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dikarenakan bahwa Allah Ta’ala tidak menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya. (Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, 2009: 8)
Tujuan
pendidikan menurut Ibnu Qayyim jika dibandingkan dengan Al-Ghazali memiliki
beberapa kesamaan: Pertama, tujuan pendidikan mereka bersifat religius dan
moral, mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana taqarrub
(ibadah) kepada Allah dan akhlak al-karimah merupakan tujuan yang paling
penting dalam pendidikan. Kedua, tujuan pendidikan mereka memiliki koherensi
dengan tujuan penciptaan manusia dan tujuan pencarian ilmu yaitu ibadah,
penghambaan kepada Allah. Ketiga, tujuan pendidikan mereka bersifat terpadu dan
holistik, mengembangkan fitrah anak baik aspek ruhani maupun jasmani, akal dan
kalbu secara dinamis agar mampu mengemban tugas sebagai khalifatullah,
mengantarkan anak pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Pokok-Pokok (Materi) Pendidikan Islam
3. Pokok-Pokok (Materi) Pendidikan Islam
Ibnu
Qayyim mengajak kepada para orang tua dan guru untuk menfokuskan pendidikan
anak pada beberapa aspek. Aspek-aspek pendidikan anak yang menjadi perhatian
Ibnu Qayyim meliputi Tarbiyah Imaniyah (Pendidikan Keimanan); Tarbiyah Ruhiyah
(Pendidikan Ruh); Tarbiyah Fikriyah (Pendidikan Akal); Tarbiyah ‘Athifiyah
(Pendidikan Perasaan). Tarbiyah Khuluqiyah (Pendidikan Akhlak); Tarbiyah
Ijtima’iyah (Pendidikan Kemasyarakatan); Tarbiyah Iradah (Pendidikan Kehendak);
Tarbiyah Badaniyah (Pendidikan Jasmani); Tarbiyah Riyadhah (Pendidikan olah
raga); Tarbiyah Jinsiyah (Pendidikan seks). (lihat, Tuhfah al-Maulud bi Ahkam
al-Maulud, h. 110-248).
Dari
beberapa aspek di atas, penulis rangkum menjadi 5 pokok aspek besar yaitu:
1) Pendidikan Iman (Tarbiyah Imaniyyah)
1) Pendidikan Iman (Tarbiyah Imaniyyah)
Tarbiyah
imaniyyah itu ialah sejumlah kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh murabbi
terhadap anak didiknya dalam menjaga iman mereka, meningkatkan kualitas dan
menyempurnakannya. Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Qayyim dalam kitab
Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan (1320 H, Jilid I: 46) adalah “Hati dan
badan manusia sangat butuh kepada pendidikan agar keduanya mampu berkembang dan
bertambah hingga meraih kesempurnaan dan kebaikan.”
Pendidikan iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun islam sejak ia memahami dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz.
Kewajiban pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman diatas, berupa dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan islam, baik akidah maupun ibadah, dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan.
Pendidikan iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun islam sejak ia memahami dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz.
Kewajiban pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman diatas, berupa dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan islam, baik akidah maupun ibadah, dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan.
2)
Pendidikan Moral (Tarbiyah Ruhiyyah-Khuluqiyyah)
Kebutuhan
yang paling mendesak adalah pemenuhan pada pembimbingan akhlak dan budi
pekerti. Dengan pernyataan ini Ibnu Qayyim seakan menegaskan bahwa pendidikan
memiliki peran yang sangat besar dan pengaruh yang kuat dalam pembinaan akhlak
seorang anak. Karena pendidikan iman yaitu membuat anak untuk terbiasa untuk
ditanamkan akhlak yang mulia pada dirinya,sedangkan penyimpangan dan perilaku
yang terjadi pada diri anak dikarenakan lemahnya pendidikan akhlak yang
seharusnya diberikan pada awal masa kanak-kanak.
Ibnu Qayyim (Al-Jauziyah,Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 200) berkata, “Sebagian dari apa yang dibutuhkan anak adalah kebutuhan mereka untuk mendapatkan ketenangan ketika di ajarkan pada mereka akhlak. Akhlak tersebut akan tumbuh dari kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. ketika sang anak masih kecil maka jauhkan dari kekerasan, marah,keras hati, tergesa-gesa, tidak punya pendirian, sering lupa, berkelompok, bersedih Maka sulit baginya ketika dia besar menghilangkan hal tersebut, akhlak ini menjadi sifat dan tingkah yang kotor baginya, walaupun pemeliharaan sikap itu bertujuan untuk memelihara yang benar-benar maka kemudian akan jelas baginya di lain hari, karena hal ini maka mayoritas manusia yang kamu tahu rusak akhlaknya dan yang demikian sebelum ada pendidikan yang ditumbuhkan padanya.”
Ibnu Qayyim (Al-Jauziyah,Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 200) berkata, “Sebagian dari apa yang dibutuhkan anak adalah kebutuhan mereka untuk mendapatkan ketenangan ketika di ajarkan pada mereka akhlak. Akhlak tersebut akan tumbuh dari kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. ketika sang anak masih kecil maka jauhkan dari kekerasan, marah,keras hati, tergesa-gesa, tidak punya pendirian, sering lupa, berkelompok, bersedih Maka sulit baginya ketika dia besar menghilangkan hal tersebut, akhlak ini menjadi sifat dan tingkah yang kotor baginya, walaupun pemeliharaan sikap itu bertujuan untuk memelihara yang benar-benar maka kemudian akan jelas baginya di lain hari, karena hal ini maka mayoritas manusia yang kamu tahu rusak akhlaknya dan yang demikian sebelum ada pendidikan yang ditumbuhkan padanya.”
Melihat
pendapat Ibnu Qayyim, bahwa usia kanak-kanak sangatlah peka terhadap hal-hal
yang diperbuat oleh orang lain. Ia senang meniru dan mencontoh apa saja yang
didengar dan dilihatnya terutama apa yang telah menjadi kebiasaan. Sedangkan
akhlak sangat erat kaintannya dengan kebiasaan dan perilaku keseharian,
sehingga orang tua perlu bertindak ekstra hati-hati untuk dapat mengeset pola
sikap dan pergaulan dalam lingkungan anak usia dini. Pembentukan kepribadian
anak terjadi melalui seluruh pengalaman hidupnya, dengan bantuan panca indera
sebagai alat pelapor yang amat peka dan jujur. Apabila diterima itu baik, indah
dan menyenangkan, maka menjadi pengalaman yang menentramkan batinnya.
Tujuan tarbiyah ini menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Hasan bin Ali Hasan (2001: 208) adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah yang menjadi sebab utama bagi kebahagiaan manusia, yang karenanya Allah menciptakan manusia, memuliakan dan menjadikannya khalifah di muka bumi. Tiada kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi manusiakecuali dengan menjauhkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang utama, sesungguhnya orang yang mengotori dirinya dengan akhlak yang tercela dan rusak, sungguh dia telah membuang kebahagiaan dunia dan akhiratnya.
3) Pendidikan Fisik (Tarbiyah Badaniyah)
Tarbiyah
badaniyyah yaitu usaha dalam mentarbiyah badan dengan memberi gizi, pengobatan
dan olah raga. Gizi harus diperhatikan macam dan jumlah yang dibutuhkan dan
pengobatan bisa terjadi dari gizi yang diberikan atau dengan obat yang berdosis
sedang, kemudian dengan yang berukuran tinggi, tetapi yang paling baik adalah
yang pertama; yaitu dengan gizi, sedang yang paling berbahaya adalah yang
ketiga yaitu obat yang berdosis tinggi. Olah raga adalah sarana yangtepat dalam
tarbiyah badaniyyah, tetapi dengan syarat harus jauh dari unsur
berlebih-lebihan, dan hendaknya dilakukan di waktu yang sesuai dengan badan dan
kondisinya dan perlu diketahui bahwa olahraga adalah sarana untuk taat kepada
Allah, jadi buka tujuan utama.
Muzaidi
Hasbullah, (2001: 246) mengatakan bahwa, Ibnu Qayyim memberikan penjelasan
adalah pendidikan fisik ini perlu diperhatikan adalah (1) Orang yang melakukan
olah raga harus dalam keadaan bersyukur kepada Allah. (2) Penuh ketenangan dan
ketentraman. (3) Memiliki akhlak Islami yang utama. (4) Selalu memohon taufik
dan kebenaran dalam setiap aktivitasnya. (5) Tidak mendendam, menghina dan
menertawakan lawan mainnya.
Aspek
fisik yang banyak diperhatikan oleh Ibnu Qayyim Al-jauziyah dan hendak
diwujudkan dalam upaya memeliharan kesehatan anak adalah dengan memperhatikan
pola makan dan minum anak dan mengawasinya untuk tidak kekurangan dan kelebihan
dalam hal aktivitas dan kuantitas. Ibnu Qayyim dalam Tuhfa al-Maudud bi Ahkam
al-Maulud , hal. 201 telah mengatakan:
“Anak
harus dihindarkan dari cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan,
hal itu demi menjaga terbentuknya pencernaan dan keteraturan cara kerjanya,
yang sudah diketahui bahwa sehatnya badan itu tergantung pada tepatnya dan
teraturnya kerja pencernaan. Dengan tidak terlalu banyak mengkonsumsi makanan
dan minuman akan mengurangi penyakit, karena tubuh tidak terdapat timbunan
sisa-sisa makanan.”
4) Pendidikan Sosial (Tarbiyah Ijtimaiyyah)
Pendidikan
sosial, adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku
sosialyang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber pada akidah
islamiyah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agar di tengah-tengah
masyarakat nanti ia mampu bergaul dan berprilaku sosial baik, memiliki
keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana Ibnu Qayyim berkata
(Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 200): Menjauhkan anak dari sikap bohong,
khianat yang merupakan sebesar-besarnya hal yang bisa menjauhkan dia dari ilmu
yang manfaat, kapanpun itu mudah dengan jalan bohong, khianat yang bisa merusak
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tarbiyah ini bertujuan membangun hubungan yang kuat antara individu sebuah masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan yang terbangun di atas kecintaan sebagai realisasi sabda Nabi Saw.yang berbunyi,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدَ كُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sbagaimana mencintai dirinya sendiri.” (Hadits Shahih diriwayatkan Bukhari)
Anak pada usia tersebut lingkungan yang pertama kali terbentuk adalah dari kedua orang tua. Orang tua adalah pendidik yang harus bisa menciptakan suasana anak yang kondusif dan konstruktif, karena jika tidak mereka akan terbiasa dengan lingkungan yang jelek dan akan amat sulit untuk mengubah ke jalan yang baik. Beliau mengatakan dalam Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 201, “Tak luput pula orang tua harus bisa menjauhkan anak mereka dari sikap malas, pengangguran , acuh tak acuh , terlalu santai dan mengajari mereka bersikap sebaliknya tanpa membanggakan mereka kecuali dengan memuji dirinya sebab kesibukannya, sesungguhnya malas, menganngur, adalah indikasi-indikasi jelek dan menimbulkan Penyesalan, karena kesungguhan, rasa capek, itu adalah indikasi baik.
Tarbiyah ini bertujuan membangun hubungan yang kuat antara individu sebuah masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan yang terbangun di atas kecintaan sebagai realisasi sabda Nabi Saw.yang berbunyi,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدَ كُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sbagaimana mencintai dirinya sendiri.” (Hadits Shahih diriwayatkan Bukhari)
Anak pada usia tersebut lingkungan yang pertama kali terbentuk adalah dari kedua orang tua. Orang tua adalah pendidik yang harus bisa menciptakan suasana anak yang kondusif dan konstruktif, karena jika tidak mereka akan terbiasa dengan lingkungan yang jelek dan akan amat sulit untuk mengubah ke jalan yang baik. Beliau mengatakan dalam Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 201, “Tak luput pula orang tua harus bisa menjauhkan anak mereka dari sikap malas, pengangguran , acuh tak acuh , terlalu santai dan mengajari mereka bersikap sebaliknya tanpa membanggakan mereka kecuali dengan memuji dirinya sebab kesibukannya, sesungguhnya malas, menganngur, adalah indikasi-indikasi jelek dan menimbulkan Penyesalan, karena kesungguhan, rasa capek, itu adalah indikasi baik.
Dengan
demikian, bahwa anak itu bisa diisi dengan apa saja yang masuk kepadanya, dan
anak pada umur seperti ini jika terngiang sesuatu dalam dirinya apa saja itu
termasuk jelek. Maka akan sulit baginya, juga bagi para orang tua untuk
melepaskan dan menyelamatkannya. Sukses tidaknya pendidikan anak benar-benar
tergantung kepada sejauh mana peran orang tua dalam membantu dan membimbing
anak dalam sebuah proses perkembangan danadaptasi dengan lingkungannya.
Lingkungan yang dimaksud dalam hal ini adalah mencakup segala sesuatu yang
dapat mempengaruhi seluruh kemampuan dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki anak.
5) Pendidikan Intelektual (Tarbiyah Fikriyah)
Akal
adalah alat yang menggerakkan badan dan seluruh anggota tubuh dan yang
menentukan baik dan rusaknya badan, jika ia baik maka baiklah seluruh badan
tetapi jika rusak maka rusaklah seluruh badan. Ibnu Qayyim mengatakan, “Akal
adalah raja, sedang ruh, panca indera dan seluruh anggota badan adalah sebagai
rakyatnya. Jika akal rusak maka kehancuranlah yang akan dirasakan oleh seluruh
rakyatnya”, (Muzaidi Hasbullah, 2001: 160)
Sedangkan
yang dimaksud dengan pendidikan intelektual adalah mengerahkan daya dan
kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan
dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh murabbi dengan
mentarbiyah orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya
sendiridalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan
cakrawala berpikirnya, (Muzaidi Hasbullah, 2001: 158)
Anjuran untuk mencetak keadaan anak laki-laki agar menjadi sosok yang selalu siap melakukan sesuatu , bergerak, maka layaknya makhluk Allah yang tidak memepersiapkan untuk yang lain yang didizinkan oleh syariat, sesungguhnya mempersiapkan pada hal lain tidak menguntungkan di dalamnya kematiannya yang bisa membuat dia bergerak , maka dari itu ketika melihat seorang anak yang punya kefahaman bagus itu benar sekali untuk dilakukan penjagaan yang positif serta perawatan yang baik pula, ini adalah adalah tanda mereka menerima dan termotivasi untuk ilmu yang bersemayam di relung hatinya selama belum ada apa-apa ini bisa menempatkan mereka dan memantapkan mereka serta membersihkan hatinya, beberapa pendapat yang berbeda dari setiap bentuk itu adalah siap untuk berkuda Penyebab-penyebabnya misalnya naik, melempar , bermain memanah. (Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 202)
Melihat pernyataan Ibnu Qayyim adalah bahwa peran orang tua sangatlah penting dalam upaya mengembangkan bakat dan kreativitas anak dengan cara membiasakan untuk diberikan aktivitas yang dapat merangsang perkembangan otaknya dan mengisinya dengan berbagai kesibukan berupa aktivitas-aktivitas positif sesuai dengan tingkat usianya. Ia dapat merangsang perkembangan otak dan memunculkan kreativitasnya. Pada sisi yang bersamaan, anak juga harus dibiasakan dengan sikap keseriusan dan sungguhan dalam setiap hal terutama belajar dan berkreasi.
4.
Metode Pendidikan Islam
Pemikiran
Ibnu Qayyim tentang metode pendidikan dapat diketahui dari
pernyataan-pernyataan tentang aspek-aspek pendidikan di atas, misalnya ada
pernyataan:
Sebagian dari apa yang dibutuhkan anak adalah kebutuhan mereka untuk mendapatkan ketenangan ketika di ajarkan pada mereka akhlak-akhlak tersebut akan tumbuh dari kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. ketika sang anak masih kecil maka jauhkan dari kekerasan, marah, keras hati, tergesa-gesa, tidak punya pendirian, sering lupa ,berkelompok, bersedih. Maka sulit baginya ketika dia besar menghilangkan hal tersebut, akhlak ini menjadi sifat dan tingkah yang kotor baginya, walaupun pemeliharaan sikap itu bertujuan untuk memelihara yang benar-benar maka kemudian akan jelas baginya di lain hari, karena hal ini maka mayoritas manusia yang kamu tahu rusak akhlaknya dan yang demikian sebelum ada pendidikan yang ditumbuhkan padanya. (Ibnu Qayyim,Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud , hal.200
Sebagian dari apa yang dibutuhkan anak adalah kebutuhan mereka untuk mendapatkan ketenangan ketika di ajarkan pada mereka akhlak-akhlak tersebut akan tumbuh dari kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. ketika sang anak masih kecil maka jauhkan dari kekerasan, marah, keras hati, tergesa-gesa, tidak punya pendirian, sering lupa ,berkelompok, bersedih. Maka sulit baginya ketika dia besar menghilangkan hal tersebut, akhlak ini menjadi sifat dan tingkah yang kotor baginya, walaupun pemeliharaan sikap itu bertujuan untuk memelihara yang benar-benar maka kemudian akan jelas baginya di lain hari, karena hal ini maka mayoritas manusia yang kamu tahu rusak akhlaknya dan yang demikian sebelum ada pendidikan yang ditumbuhkan padanya. (Ibnu Qayyim,Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud , hal.200
Dari pendapat tersebut, maka dapat diketahui bahwa bentuk metode pendidikan akhlaq anak didik adalah dengan metode pembiasaan. Pembiasaan merupakan cara tepat untuk pembentukan akhlaq atau karakter anak karena sifat akhlaq tidak hanya bersifat teoritik tetapi bersifat aplikatif.
Ibnu
Qayyim menganjurkan metode pendidikan anak yang beragam, sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Metode keteladan bagi pembentukan prilaku anak, pembinaan
budi pekerti dan penanaman sifat-sifat mulia pada diri mereka. Ibnu Qayyim
mendorong agar para orang tua dan pendidik, menjadikan dirinya orang yang
istiqamah dan kokoh dalam perilaku akhlaknya, agar mereka mampu mendidik
anak-anaknya dengan lisan hal (qudwah) sebelum mendidik dengan kata-kata. (Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud).
Ibnu Qayyim juga menekankan tentang penggunaan metode pelatihan dan pembiasaan. Ibnu Qayyim menegaskan bahwa sedari kecil anak harus dilatih dan dibiasakan untuk mengerjakan berbagai hal yang bermanfaat baginya, agar ketika dewasa, apa yang sering dilakukannya menjadi sebuah kebiasan yang tidak bisa ditingalkan.
Disamping itu, Ibnu Qayyim merekomendasikan penggunaan metode learning by doing a good thing. Mengaktifkan dan menyertakan anak dalam berbuat baik,vseorang anak hendaknya diaktifkan dalam perbuatan-perbuatan baik sehingga akhlak yang utama menjadi sesuatu yang dicintainya. Ibnu Qayyim sepakat untuk tidak merekomendisikan penggunaan metode perdebatan dalam mendidik anak.
Ibnu Qayyim juga menekankan tentang penggunaan metode pelatihan dan pembiasaan. Ibnu Qayyim menegaskan bahwa sedari kecil anak harus dilatih dan dibiasakan untuk mengerjakan berbagai hal yang bermanfaat baginya, agar ketika dewasa, apa yang sering dilakukannya menjadi sebuah kebiasan yang tidak bisa ditingalkan.
Disamping itu, Ibnu Qayyim merekomendasikan penggunaan metode learning by doing a good thing. Mengaktifkan dan menyertakan anak dalam berbuat baik,vseorang anak hendaknya diaktifkan dalam perbuatan-perbuatan baik sehingga akhlak yang utama menjadi sesuatu yang dicintainya. Ibnu Qayyim sepakat untuk tidak merekomendisikan penggunaan metode perdebatan dalam mendidik anak.
Masih
banyak lagi metode yang digunakan oleh Ibnu Qayyim seperti metode: hafalan
pemberian contoh/misal hiwar, tanya jawab, hafalan, pemberian misal, cerita/kisah,
nasihat, ganjaran dan hukuman, dan lain-lain. Penggunaan metode harus
diselaraskan dengan tahapan perkembangan, tingkat kecerdasan, bakat dan
pembawaan anak, dan tujuannya pendidikan dan karakteristik materi.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tarbiyah
yang diserukan oleh Ibnu Qayyim adalah tarbiyah yang dijelaskan rambu-rambu dan
jalan/metode/manhajnya, bersandar kepada manhaj Allah yang suci dan bersumber
dari kitabullah Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah Nabi-Nya yang mulia. Ia adalah
tarbiyah yang dinamis, yang mendidik individu dan menjadikannya mampu
berinteraksi dengan masyarakat Mukmin yang dia hidup di dalamnya, dan yang
menjelaskan tanggung jawab setiap lembaga sosial kemasyarakatan terhadap
pendidikan. Keluarga mempunyai peranan agung dalam tarbiyah, karena keluargalah
yang membentuk dan mencetak kepribadian anggota masyarakat yang memiliki
karakteristik khusus sebagai simbol dari akhlak dan perilaku kedua orang
tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh anggota keluarganya. Setiap individu dalam
sebuah keluarga memiliki pengaruh dan bisa dipengaruhi, mengambil dan memberi.
Ibn
Qayyim al-Jawziyyah merupakan tokoh pendidikan Islam dan sekaligus seorang
psikologis. Pemikirannya tentang psikologi perkembangan dan pendidikan anak
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi khazanah pendidikan Islam.
Pokok utama pemikirannya tentang psikologi dan pendidikan anak berangkat dari konsep praktis mendidik dan membesarkan anak yang didasarkan pada dua hal: pertama, bahwa anak-anak, dengan kebutuhannya yang khas, berhak mendapat perhatian dan perawatan khusus, kedua, bahwa cara bayi dan anak-anak diperlakukan mempunyai pengaruh yang panjang terhadap sifat fisik maupun psikologis mereka.
Sebagai
pendapat pembanding, Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,”
menuliskan bahwa pendidikan Islam pada fase ini meliputi empat hal, adalah (1)
Pendidikan kegamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata,
jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha
Pemurah. Sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jaunya. (2)
Pendidikan akaliyah dan ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari
segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu
kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya. Sedangkan mereka
dahulu belum mengetahuinya. Untuk mempelajari hal-hal itu haruslah dengan
banyak membaca dan meyelidiki serta memakai pena untuk mencatat. (3) Pendidikan
akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad Saw Mengajar sahabatnya agar berakhlak
baik sesuai dengan ajaran tauhid. (4) Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu
mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempa kediaman. (Zuhairini , 2000 :
18-50
B.
SARAN
Alhamdulillah
tiada harapan dan upaya sedikitpun dari kami kecuali makalah ini dapat
bermanfa’at bagi segenap pembaca, dan dapat menambah sedikit banyak mengenai
studi Islam.
Di
balik itu semua, maka dengan segala kemampuan yang pemakalah miliki tentunya
masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Diharapkan setiap
pembaca dapat memberi teguran dan pembenaran kontruktif bagi pemakalah,
terutama dari teman-teman mahasiswa dan Bapak dosen pengampu khususnya, dan
sebelumnya pemakalah ucapkan banyak terima kasih.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
A.
Susanto M.Pd., Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2009
Departemen Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Anda Utama, 1993
Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, Jakarta: Al-Kautsar, 2001
Departemen Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Anda Utama, 1993
Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, Jakarta: Al-Kautsar, 2001
Hussein
Bahresi, Al-Jamiush Shahih: Hadits Shahih Bukhari-Muslim Pilihan, Surabaya:
Karya Utama, tt
Ibnu
Qayyim A-Jauziyah, Roh, Jakarta:Al-Kautsar, 2001
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan, Kairo : Daar Ibnul
Jauzi, 1320 H, Jilid 1
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Darus Sa’adah: Kunci Surga Mencari Kebahagiaan
dengan Ilmu, terjemahan Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, Solo: Tiga
Serangkai, 2009
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Mukhashar Raudhatul Muhibbin, terjemahan Tengku Azhar,
Solo:Pustaka Al-Arafah, 2005
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud, Bingkisan Kasih Untuk si
Buah Hati, terjemahan Abu Umar Basyir al-Maedani, Solo: Pustaka Arafah, 2006
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Fawaid: Menuju Pribadi Takwa, terjemahan Munirul
Abidin, Jakarta: Al-Kautsar, 2008
Ismail
SM,,et al, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo, 2001
Jalal,
Abdul Fattah, Azas-Azas Pendidikan Islam. Bandung: CV Diponegoro, 1988
Jalaluddin dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam dan Perkembangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. cet. Ke-2
Jalaluddin dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam dan Perkembangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. cet. Ke-2
Jalaluddin,
Teologi Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Mastuhu,
Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999
Nata,
Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 2001. cet. Ke-4
Ramayulis.
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia. 1994
0 komentar:
Posting Komentar