BAB I
A.
Ekonomi
Jepang
Jepang menyebut Indonesia sebagai :
"To Hindo". Indonesia sudah lama diincar oleh Jepang. Melimpahnya
sumber daya manusia dan sumber daya alam merupakan alasan utamanya. Hal ini
sangat penting karena Jepang memerlukan sumber daya yang banyak untuk mendukung
kepentingan perangnya. Pada masa pendudukan Jepang, perekonomian di Indonesia
bercorak ekonomi perang. Ciri-cirinya adalah adanya pengaturan, pembatasan,
serta penguasaan faktor-faktor produksi oleh pemerintah militer. Pemerintah
pendudukan di Indonesia segera mengambil alih seluruh kegiatan ekonomi dan
pembangunan.
Pemerintah pendudukan Jepang kemudian mengeluarkan Undang- Undang No. 22 Tahun 1942 yang isinya menyatakan bahwa pemerintah militer mereka (Gunseikan) langsung mengawasi perkebunan. Perkebunan di Indonesia yang tidak mempunyai kaitan dengan perang ditutup. Sebaliknya, perkebunan yang dapat menunjang kegiatan perang mereka seperti karet, teh, gula, jarak, dan kina terus diberdayakan. Komoditas tersebut sangat mendukung Jepang terutama dalam menyiapkan akomodasinya.
Pada bidang perbankan, Jepang melikuidasi bank-bank bekas peninggalan Belanda. Hal ini dilakukan setelah bank-bank tersebut membayar hutang. Jepang kemudian mendirikan bank-bank baru seperti Yokohama Ginko, Taiwan Ginko, Mitsui Ginko, dan Kana Ginko. Jepang juga mengeluarkan uang baru untuk menutup defisit akibat pembangunan di bidang militer mereka. Perekonomian penduduk menjadi lumpuh karena dikorbankan demi alasan semu "Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya". Penduduk dimobilisasi untuk menyerahkan hasil bumi dan juga tenaganya. Akibatnya, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kesengsaraan merajalela di berbagai daerah di Indonesia.
B. Kebijakan Ekonomi
Pemerintahan Jepang
Dalam menjalankan kebijakan
pemerintahannya, pemerintah Jepang berpegang pada tiga prinsip utama. Pertama,
mengusahakan agar mendapat dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan
ketertiban umum. Kedua, memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan
yang sudah ada. Ketiga, meletakkan dasar supaya wilayah yang bersangkutan dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri bagi wilayah selatan.1
Oleh karena itu pemerintah Jepang pada awalnya senantiasa berupaya mencapai dan
kemudian mempertahankan keadaan yang stabil, jika tidak bisa memulihkan keadaan
seperti yang sebelumnya (status quo ante), paling tidak mendekati seperti itu.
Kebijaksanaan Jepang terhadap
rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas, yaitu menghapus pengaruh-pengaruh
Barat di kalangan rakyat Indonesia dan memobilisasi rakyat Indonesia demi
kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. 2
Luasnya daerah pendudukan
Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya
untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara
darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan
semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui
suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha. Romusha ini dikoordinir
melalui program Kinrohosi atau kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukan
dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan
tenaga diserahkan pada panitia pengerah (Romukyokai) yang ada di setiap desa.
Banyak tenaga Romusha yang tidak kembali dalam tugas karena meninggal akibat
kondisi kerja yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan
yang mencukupi. Kurang lebih 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan
berakhir dengan kematian dari ½ 300.000 tenaga Romusha yang dikirim ke Birma,
Muangthai, Vietnam, Malaya dan Serawak.
0 komentar:
Posting Komentar